KTI SKRIPSI KEBIDANAN KEPERAWATAN KESMAS KEDOKTERAN

Kumpulan KTI SKRIPSI Kebidanan Keperawatan Kesmas Kedokteran ini bertujuan untuk membantu para mahasiswa/i kebidanan keperawatan kesehatan masyarakat dan Kedokteran dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah dan Skripsi sebagai salah satu syarat dalam tugas akhir pendidikan. Kumpulan KTI Skripsi ini akan terus kami tambah, sehingga dapat memenuhi kebutuhan anda dalam mendapatkan contoh KTI Skripsi, jadi anda tidak perlu lagi membuang waktu dan biaya dalam mencari KTI yang anda inginkan.

KOTAK PENCARIAN:

kesulitan dalam mencari judul KTI Skripsi Gunakan pencarian berikut:

Gambaran Pelaksanaan Pemberian ASI dalam Rawat Gabung di RB

10 July 2012

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) mengamanatkan bahwa pembangunan diarahkan pada meningkatnya mutu sumber daya manusia. Modal dasar pembentukan manusia berkualitas dimulai sejak bayi dalam kandungan disertai dengan pemberian air susu ibu sejak usia dini. “Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Sukmaningsih melaporkan, berdasarkan penelitian WHO 1,5 juta bayi di dunia meninggal karena tidak diberi air susu ibu” UNICEF menyatakan, terdapat 30.000 kematian bayi di Indonesia dan 10 juta kematian anak balita di dunia setiap tahunnya. UNICEF menyebutkan bukti ilmiah terbaru, yang juga dikeluarkan oleh Journal Paediatrics ini, bahwa bayi yang diberikan susu formula memiliki kemungkinan untuk meninggal dunia pada bulan pertama kelahirannya. Dan peluang itu 25 kali lebih tinggi dibandingkan bayi yang disusui oleh ibunya secara eksklusif. Tingginya angka kematian bayi di Indonesia maupun di dunia sebenarnya dapat diminimalisir dengan salah satunya melakukan Rawat Gabung.
Hasil SDKI 2007 menunjukkan penurunan jumlah bayi yang mendapatkan ASI eksklusif hingga 7,2%. Pada saat yang sama, jumlah bayi dibawah enam bulan hanya diberi susu formula meningkat 16,7% pada 2002 menjadi 27,9% pada tahun 2007 (Media Indonesia, 2008). Di Ruang Nifas IRD Dr. Soetomo Surabaya pada bulan januari 2007 didapatkan data ibu nifas sebanyak 102 orang, yang melakukan rawat gabung sebanyak 52 orang dan yang memberikan ASI pada bayinya sebanyak 40 orang (77%), dan yang tidak memberikan ASI pada bayinya sebanyak 12 orang. Penyebab yang didapat dari hal ini adalah ASI yang belum keluar sebanyak 6 orang, kelelahan setelah melahirkan sebanyak 2 orang, tidak tahu tentang ASI pertama (kolostrum) sebanyak 3 orang dan kengganan ibu memberikan ASI karena lebih mengandalkan susu botol demi kecukupan nutrisi pada bayinya sebanyak 1 orang, sedangkan yang tidak melakukan rawat gabung sebanyak 50 orang yang disebabkan oleh faktor ibu dan bayi, misalnya ibu dengan PEB, bayi prematur, dan bayi meninggal dalam kandungan. Di RSCM angka morbiditas ibu sebelum rawat gabung 17,45% setelah rawat gabung menurun menjadi 2,1%. Pentinnya rawat gabung untuk memudahkan pemberian ASI, karena pemberian ASI eksklusif memberi dampak positif, hal ini dapat dilihat dai hasil penelitian di RSCM yaitu “angka mortalitas bayi pada rawat pisah 0,4%, sedangkan pada rawat gabung 0,05%. Angka morbiditas bayi pada rawat pisah 17,9% sedangkan pada rawat gabung 2,13%. Dan lama perawatan pada rawat pisah 4,7 + 2,6 hari sedangkan pada rawat gabung 2,5 + 1,5 hari” (FKUI, 1992: 8)
Masalah yang ada ialah masih sedikitnya ibu yang memberikan ASI pada bayinya meskipun telah dilakukan rawat gabung. Masalah ASI memiliki dimensi luas, tidak hanya merupakan masalah kesehatan, tetapi juga meliputi perubahan sosial budaya, psikologis ibu, kesehatan ibu, pelayanan kesehatan dan petugas yang belum sepenuhnya mendukung serta gencarnya promosi susu kaleng sebagai pengganti ASI, pengetahuan ibu, dan lingkungan keluarga (Hapsari susu (Meutia, 2009). Walaupun menyusui merupakan suatu proses yang alamiah, namun sering kali ibu-ibu yang memberikan ASI dalam rawat gabung tidak berhasil menyusui bayinya dan menghentikan menyusui lebih dini.
Solusi dari maslah-masalah diatas ialah setiap ibu harus percaya dapat melakukan dengan didukung petunjuk pengetahuan dan manajemen praktik menyusi yang benar dan tepat, serta memberikan konseling jika ada masalah dan dukungan yang terus menerus dari suami, keluarga petugas kesehatan dan masyarakat untuk terus menyusui bayinya (Hubertin, 2004 (Media Indonesia, 2008). Dari rawat gabung bayi mendapatkan ASI dan ibu dapat belajar cara merawat bayinya sebagai kesiapan ibu dalam merawat bayinya dirumah secara mandiri. Rawat gabung merupakan metode perawatan yang merawat bayi baru lahir disamping ibunya, hingga ibu dan bayinya dirawat dalam satu kesatuan. Menurut ISA (dalam FKUI, 1992: 28) “Dengan adanya rawat gabung diharapkan hubungan batin ibu dan bayi yang ditimbulkan oleh kontak paling sensitif 12 jam pertama terjalin, makin dini dan makin lama kontak bayi dan ibu, makin bayaklah produksi air susu ibu” (FKUI, 1992:1). Keberhasilan rawat abung sangat mendukung keberhasilan dalam pemberian ASI.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah pelaksanaan pemberian ASI dalam rawat gabung di RB 

1.3 Tujuan Penelitian :
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran Pelaksanaan pemberian ASI dalam rawat gabung di RB
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya Gambaran Pelaksanaan Pemberian ASI dalam Rawat Gabung Rawat Gabung di RB

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman dalam melakukan penelitian tentang gambaran pelaksanaan pemberian ASI dalam rawat gabung.
1.4.2 Bagi IPTEK
Menambah kajian baru ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan khususnya dan bisa dijadikan penelitian lanjutan.
1.4.3 Bagi Profesi Kebidanan
Sebagai tambahan pengetahuan dan merupakan teori-teori tentang pemberian ASI dan rawat gabung

1.4.4 Bagi Program KIA
Dapat dijadikan informasi tentang pemberian ASI pada rawat gabung di suatu tempat pelayanan kesehatan



Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.250

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Obat Tradisional Bagi Ibu Nifas di BPS

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Sejak ratusan tahun yang lalu, nenek moyang bangsa kita telah terkenal pandai meracik jamu dan obat-obatan tradisional. Beragam jenis tumbuhan, akar-akaran, dan bahan-bahan alamiah lainnya diracik sebagai ramuan jamu untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Ramuan-ramuan itu digunakan pula untuk menjaga kondisi badan agar tetap sehat, mencegah penyakit, dan sebagian untuk mempercantik diri. Kemahiran meracik bahan-bahan itu diwariskan oleh nenek moyang kita secara turun temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya, hingga ke zaman kita sekarang. Di berbagai daerah di tanah air, kita menemukan berbagai kitab yang berisi tata cara pengobatan dan jenis-jenis obat tradisional. Di Bali, misalnya, ditemukan kitab usadha tuwa, usadha putih, usadha tuju, dan usadha seri yang berisi berbagai jenis obat tradisional. Dalam cerita rakyat seperti cerita Sudamala, dikisahkan bagaimana Sudamala berhasil menyembuhkan mata pendeta Tambapetra yang buta. Demikian pula relief cerita Mahakarmmawibhangga pada kaki Candi Borobudur, menggambarkan seorang anak kecil yang sakit dan sedang diobati dua orang tabib. Salah satu relief lainnya, juga memperlihatkan kegiatan seorang tabib sedang meracik obat (Anonymous, 2009).
Di tengah-tengah serbuan obat-obatan modern, jamu dan ramuan tradisional tetap menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat kita. Tidak hanya masyarakat di pedesaan, masyarakat di perkotaan pun mulai mengkonsumsi obat-obatan tradisional ini. Diberbagai pelosok tanah air, dengan mudah kita menjumpai para penjual jamu gendong berkeliling menjajakan jamu sebagai minuman sehat dan menyegarkan. Demikian pula, kios-kios jamu tersebar merata di seluruh penjuru tanah air. Jamu dan obat-obatan tradisional, telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat kita. Keragaman obat-obatan tradisional di tanah air, telah memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, dan kesehatan bangsa kita. Negara kita menjadi salah satu pusat tanaman obat di dunia. Ribuan jenis tumbuhan tropis, tumbuh subur di seluruh pelosok negeri. Belum semua jenis tanaman itu kita ketahui manfaat dan khasiatnya. Kita hanya berkeyakinan bahwa Tuhan menciptakan semua jenis tumbuhan itu, pastilah tidak sia-sia. Semua itu pasti ada manfaatnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan konservasi sumber daya alam, agar jangan ada jenis tanaman yang punah. Kebakaran hutan bukan saja memusnahkan satwa dan fauna, tetapi juga menimbulkan polusi dan meningkatkan suhu pemanasan global. Jamu dan obat tradisional, sampai saat ini belum dikembangkan secara optimal. Produksi jamu dan obat-obatan tradisional lebih banyak diproduksi oleh homeindustry. Hanya sebagian kecil jamu dan obat-obatan tradisional yang diproduksi secara masal melalui industri jamu dan obat tradisional di pabrik-pabrik. Untuk meningkatkan kualitas, mutu, dan produk jamu serta obat-obatan yang dihasilkan oleh masyarakat kita, diperlukan kerjasama seluruh pihak yang terkait. Kerjasama itu dimaksudkan agar jamu dan obat tradisional yang dihasilkan dapat bersaing, baik di pasar regional maupun global. Beredarnya jamu dan obat-obatan yang tidak terdaftar di Badan Pengawasan Obat dan Makanan, akan merugikan konsumen. Di samping itu, secara ekonomi, beredarnya obat-obatan seperti itu justru akan merusak citra obat tradisional. Citra yang rusak akhirnya akan memukul produksi dan pemasaran obat-obatan tradisional, di dalam maupun di luar negeri. Pemerintah, terus berupaya melakukan pengawasan demi meningkatkan keamanan, mutu, dan manfaat obat tradisional. Hal ini dilakukan agar masyarakat terlindung dari obat tradisional yang dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Melalui penelitian dan pengembangan yang cermat dan teliti, jamu dan obat-obatan tradisional dapat diarahkan untuk menjadi obat yang dapat diterima dalam pelayanan kesehatan formal. Memang harus kita akui, bahwa para dokter dan apoteker, hingga saat ini masih belum dapat menerima jamu sebagai obat yang dapat mereka rekomendasikan kepada para pasiennya. Akibatnya, pemasaran produk jamu tidak dapat menggunakan tenaga detailer seperti pada obat moderen. Akhir-akhir ini, tampak adanya trend hidup sehat pada masyarakat untuk menggunakan produk yang berasal dari alam. Oleh karena itu, jamu dan obat-obatan tradisional perlu didorong untuk menjadi salah satu pilihan pengobatan. Jamu dan obat-obatan tradisional harus didorong pula untuk menjadi komoditi unggulan yang dapat memberikan sumbangan positif bagi meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Kegiatan itu juga memberikan peluang kesempatan kerja, dan mengurangi kemiskinan (Anonymous, 2010).
Obat tradisional ini (baik berupa jamu maupun tanaman obat) masih banyak digunakan oleh masyarakat, terutama dari kalangan menengah kebawah dalam upaya pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotatif). Bahkan dari masa ke masa obat tradisional mengalami perkembangan yang semakin meningkat, terlebih dengan munculnya isu kembali kealam (back to nature) (Katno, dkk, 2004).
Purwati (2004) Mengatakan bahwa pada saat sekarang, kecenderungan dan kesadaran masyarakat semakin meningkat dalam penggunaan obat tradisional. Hal ini dikarenakan utuk mendapatkan cara yang lebih murah dan aman dibanding obat-obat moderen atau sebagai alternatif pengganti jika obat-obat moderen tidak dapat lagi memberikan kesembuhan untuk menanggulangi masalah kesehatan tertentu. Obat tradisional mendapat tempat tersendiri dihati masyarakat karena konsep back to nature yang ditawarkan memberikan kesan aman dikonsumsi seluruh keluarga. Minum obat tradisional sudah jadi kebiasaan dan khasiatnya diyakini ampuh sejak zaman nenek moyang. Apalagi jika obat-obatan itu didukung pengemasan yang baik, mudah didapat dan harganya murah.
Dibandingkan obat-obat moderen, memang obat tradisional memiliki beberapa kelebihan, antara lain : efek sampingnya relatif rendah, dalam satau ramuan dengan komponen berbeda memiliki efek samping mendukung, pada satu tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi serta lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif (Katno, dkk, 2004).
Departemen kesehatan mendukung pengobatan tradisional yang berkembang di Indonesia, terutama untuk mengantisipasi harga obat yang mahal. Untuk itu telah terbit surat keputusan menteri kesehatan No. 0584/Menkes/SK/VI/1995 tentang pembentukan sentral pengembangan dan penerapan pengobatan tradisional (sentral P3T). saat ini sudah terbentuk 12 sentral P3T di 12 propinsi, satu diantaranya di DKI Jakarta yang berkedudukan di RSU. Dr. Cipto Mangunkusumo. Hari kesehatan nasional tanggal 12 November 1998 yang lalu pun bertemakan “kembali ke alam, manfaatkan obat asli Indonesia”. (Dalimartha, S. 1999).
Sebagai gambaran, nilai jual obat tradisional pada tahun 1992 didunia mencapai US $ 8 milyar , US $ 45 milyar pada tahun 2001 , dan dierkirakan akan terus meningkat menjadi US $ 5 triliun pada tahun 2005 . secara nasional permintaan obat tradisional cukup besar dan terus meningkat. industri obat tradisional indonesia dari tahun ketahun terus meningkat. Peningkatan jumlah industri obat tradisional tersebut signifikan dengan eningkatan total nilai jual produk obat asli indonesia didalam negeri , yang mana 95,5 milyar ruiah pada tahun 1991 meningkat hingga mencapai nilai 600 milyar pada tahun 1999 . Survey perilaku konsumen daam negeri menunjukkan 61,3% responden mempunyai kebiasaan meminum obat tradisional (Anonymous, 2009).
Melalui resolusi 1977 WHO menyatakan bahwa pelayanan kesehatan masyarakat tidak dapat merata tanpa mengikutsertakan pengobatan tradisional . Pengobatan tradisional dengan obat-obat tradisionalnya mempunyai latar belakang sosial bdaya masyarakat dan dapat digolongkan sebaga teknologi tepat guna karena bahan-bahan yang dipakai terdapat disekitar masyarakat itu sendiri , sehingga mudah didapat, murah dan mudah menggunakannya tanpa memerlukan peralatan yang mahal untuk mempersiapkannya (Agoes,A, 1996).
Dalam penelitiannya Muchtaruddin menemukan bahwa pemakai jamu lebih banyak wanita 54,6% berumur antara 24-25tahun, mempunyai pendidikan SD, bekerja sebagai petani atau nelayan. Sedangkan Moeryati Sudibyo menemukan bahwa ditapos 70,8% ibu menggunakan obat tradisional untuk pengobatan dan 29,9% untuk tujuan suportif untuk kesehatan tubuh dan sesudah melahirkan. Dengan uji statistik pengetahuan ibu merupakan faktor utama yang mempungaruhi penggunaan obat tradisional , disusul oleh ketersediaan dan kepercayaan (Agoes,A, 1999).
Atas dasar uraian diatas peneliti sangat tertarik untuk meneliti tentang gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan obat tradisional bagi ibu nifas di BPS Hj. Kecamatan Kabupaten .

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti ingin mengetahui bagaimana Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Obat Tradisional Bagi Ibu Nifas di BPS Hj. .

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan obat tradisional bagi ibu nifas
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan obat tradisional bagi ibu nifas ditinjau dari segi pengetahuan.
b. Untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan obat tradisional bagi ibu nifas ditinjau dari segi kepercayaan.
c. Untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan obat tradisional bagi ibu nifas ditinjau dari segi penghasilan.

D. KEASLIAN PENELITIAN
Sebelumnya Supardi (1997) pernah melakukan penelitian dengan judul Pola Pengobatan Sendiri Menggunakan Obat, Obat Tradisional dan Cara Tradisional serta Pengobatan Rawat Jalan Memanfaatkan Pengobatan Tradisional Di Lampung Selatan.

E. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat untuk instansi/BPS
Sebagai bahan masukan bagi pemberi pelayanan kebidanan yang berada di BPS untuk dapat memberikan informasi yang benar tentang obat tradisional bagi ibu nifas.
2. Manfaat unutk Pendidikan
Untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan serta menambah referensi buku di pendidikan, khususnya mengenai penggunaan obat tradisional bagi ibu nifas.
3. Bagi peneliti/mahasiswa
Mengembangkan wawasan dan pengetahuan mahasiswa tentang penggunaan obat tradisional bagi ibu nifas.


Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.249

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Gambaran Faktor-faktor Penyebab Rupture Perineum pada Ibu Bersalin

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Kematian ibu bersalin dan ibu hamil sekarang sudah mencapai 25-50% hal ini merupakan masalah besar pada negara berkembang, kematian ini terjadi pada wanita usia subur. Kematian pada wanita bersalin merupakan penyebab kematian terbesar kematian pada usia puncak produktifitasnya. (Arifin, 2003)
Menurut Word Health Organization (WHO) memperkirakan ada 500.000 kematian ibu melahirkan di seluruh dunia setiap tahun. 99 persen tejadi di negara berkembang. Dan salah satunegara berkembang adalah indonesia.
Berdasarkan survei demografi kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, angka kematian maternal di indonesia mencapai 248/100.000 kelahiran hidup. Di negara maju hanya 27/100.000 kelahiran hidup. Di negara berkembang Aki kira-kira mencapi 18 kali lebih tinggi. Sekitar 480/100.000 kelahiran hidup,salah satu penyebabnya karena pertolongan persalinan di negara berkembang ,khususnya di indonesia di tolong oleh tenaga dukun.
Penyebab utama kematian ibu di negara berkembang adalah faktor obstetri langsung, yaitu perdarahan postpartum, infeksi dan eklamsi (rahmaningtyas, wijayanti, & kokoeh, 2010)
Kelainan perdarahan postpartum yang terjadi pada kala ketiga (kala uri) yaitu retensio plasenta, inversion uteri, dan perdarahan robekan jalan lahir. Perdarahan Postpartum adalah perdarahan yang tejadi dalam waktu 24 jam pertama.
Menurut (manuaba, 1998), perdarahan postpartum merupakan perdarahan lebih dari 500-600 ml (Rukiyah & Yulianti, 2010). Perdarahan postpartum merupakan penyebab kematian ibu , kematian ibu ini disebabkan oleh perdarahan postpartum (plasenta previa, solusio plasenta , kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, rupture uteri) (Sastrawinata & dkk, 2005)
Salah satu penyebab perdarahan adalah robekan jalan lahir (rupture perineum).robekan ini dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan karena serviks atau vagina (saifudin, 2001)
Ruptur perineum adalah perlukaan jalan lahir yang terjadi pada saat kelahiran bayi baik menggunakan alat maupun tidak menggunakan alat. Ruptur perineum disebabkan paritas, jarak kelahiran, berat badan bayi, pimpinan persalinan tidak sebagaimana mestinya, ekstraksi cunam, ekstraksi fakum, trauma alat dan episiotomi. (Nasution, 2007)
Klinik permadani merupakan salah satu klinik yang menerima persalinan dan memiliki alat penanganan ruptur medic lengkap. Hal yang mendasari penelitian dilakukan di klinik permadani karena masih banyak ibu hamil maupun ibu bersalin termasuk ditemukannya rupture perineum pada ibu bersalin, dan peneliti ingin mengetahui gambaran faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya rupture perineum pada ibu bersalin.
Berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan penelitian tentang gambaran faktor-faktor penyebab terjadinya ruptur perineum pada ibu bersalin di klinik permadani tahun 2012.

1.2 Perumusan Masalah
Bagaimanakah gambaran faktor-faktor penyebab rupture perineum pada ibu bersalin di klinik permadani tahun 2012.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran faktor-faktor penyebab rupture perineum pada ibu bersalin di klinik permadani tahun 2012.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik ibu bersalin berdasarkan umur, pekerjaan,pendidikan,
2. Untuk mengetahui gambaran faktor- faktor yang berhubungan dengan terjadinya rupture perineum pada ibu bersalin di klinik permadani tahun 2012 berdasarkan paritas.
3. Untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya rupture perineum pada ibu bersalin di klinik permadani tahun 2012 berdasarkan jarak kelahiran
4. Untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya rupture perineum pada ibu bersalin di klinik permadani tahun 2012 berdasarkan berat badan bayi
5. Untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya rupture perineum pada ibu bersalin di klinik permadani tahun 2012 berdasarkan riwayat persalinan.

1.4 Manfaat penelitian
1. Bagi praktek pelayanan kebidanan
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi masukan bagi peraktek pelayanan kebidanan untuk menurunkan angka kejadian rupture perineum
2. Bagi institusi pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan dan sebagai aplikasi ilmu yang diperoleh selama perkuliahan.
3. Bagi ibu nifas
Sumber informasi yang dapat di jadikan sebagai pedoman manambah ilmu pengetahuan serta mengurangi angka mobilitas bagi ibu masa nifas.
4. Bagi peneliti
Penelitian ini menjadi pengalaman bagi peneliti terutama dalam meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan rupture perineum dan bagi peneliti selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan acuan.


Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.248

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka pada Pasien Post Sectio Caesarea

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 adalah meningkatkan kesadaran, Kemajuan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui terciptanya masyarakat bahagia dan negara indonesia yang ditandai oleh pendukungnya, Hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal seluruh wilayah Republik Indonesia. Sasaran pembangunan kesehatan menuju Indonesia yang sehat 2010 adalah perilaku hidup sehat yaitu secara bermakna jumlah Ibu memeriksakan diri dan melahirkan ditolong oleh tenaga kesehatan (Depkes RI, 1999)
Disektor kesehatan sendiri, upaya kesehatan yang dilakukan akan lebih mengutamakan upaya kuratif, promotif tanpa meninggalkan preventif dan rehabilitatif. Tindakan bedah sectio caesarea merupakan upaya untuk mengobati (kuratif) suatu penyakit atau meringankannya untuk dapat menyelamatkan nyawa ibu maupun janin. Bedah caesar kadang menjadi alternatif persalinan yang mudah dan nyaman. Anggapan ini membuat mereka memilih persalinan cara ini dari pada alami, meskipun tanpa indikasi medis. (Dini Kasdu, 2003 : 3)
Menurut statistik tentang 3.509 kasus sectio caesarea yang disusun oleh Peel dan Chamberlain (1968), indikasi sectio caesarea yang terbanyak adalah disproporsi repalo peluik (21%), sedangkan indikasi lain adalah gawat janin (14%), plasenta pravia (11%), pernah sectio caesarea (11%), Incoordinate Uterine Action (9%), preeklamsi dan hipertensi (7%). (Hanifa Wiknjosostro, 1994), namum berkat kemajuan antibiotik, transfusi darah, anastesi dan teknik operasi lebih sempurna kecendrungan untuk melakukan operasi ini tampa dasar indikasi yang cukup kuat.
Survei sederhana pernah dilakukan oleh Prof. Dr Gulardi dan dr. A. Basalomah terhadap 64 rumah sakit di Jakarta pada tahun 1993. hasilnya, tercatat 17.665 kelahiran yang dikutip dari majalah Ayah Bunda No. 3/February 2001. Dari angka kelahiran tersebut, sebanyak 19,5-27,3% diantaranya merupakan operasi caesar karena adanya komplikasi cephalo pelvic disprortion/CPD (ukuran lingkar pinggul ibu tidak sesuai lingkar kepala janin). Berikutnya, operasi caesar akibat perdarahan hebat yang terjadi selama persalinan sebanyak 11,8-21% dan kelahiran caesar kerena janin sungsang berkisar 4,3-8,7% (Dini Kasdu, 2003 : 4)
Data lain yang didapat dari RSUP N Cipto Mangunkusumo, Jakarta, tahun 1999-2000, Menyebutkan bahwa dari jumlah persalinan sebanyak 404 perbulan, 30% diantaranya merupakan persalinan caesar, 52,5% adalah persalinan spontan, sedangkan sisanya dengan bantuan alat seperti vacum dan forsep. Berdasarkan persentase kelahiran caesar tersebut, 13.7% disebabkan oleh gawat janin (denyut jantung janin lemah menjelang persalinan) dan 2,4% karena ukuran janin terlalu besar sehingga tidak dapat melewati pinggul ibu. Sisanya, sekitar 13,9% opersi caesar dilakukan tampa melakukan pertimbangan medis. (Dini Kasdu, 2003:6)
Sectio caesarea adalah persalinan melalui sayatan dinding abdomen atau uterus yang masih utuh dengan berat janin lebih dari 1000 gram atau umur kehamilan lebih dari 28 minggu (Ida Bagus Manuaba, 1999 : 229). Perawatan yang dibutuhkan oleh pasien post op sectio caesarea menurut subiston (1992:107) membutuhkan perawatan inap sekitar 3–5 hari, penutupan luka insisi sectio caesarea terjadi pada hari ke-5 pasca bedah, luka pada kulit akan sembuh dengan baik dalam waktu 2–3 minggu sedangkan luka fasia abdomen akan merapat dalam waktu 6 minggu, tapi tetap terus berkembang makin erat selama 6 bulan, tendon atau ligomentum membutuhkan waktu sekurang–kurangnya 3 bulan untuk peyembuhan awal dan terus makin kuat dalam waktu lebih dari 1 tahun (Subiston, 1998 :147)
Faktor–faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka adalah faktor lokal yang terdiri dari oksigenasi, hematoma, teknik operasi. Sedangkan faktor umum terdiri dari usia, nutrisi, steroid, sepsis dan obat–obatan (Subiston, 1992:148). Faktor lainnya adalah gaya hidup klien dan mobilisasi (Kozler, 1995:1361)
Sesuai dengan paradigma sehat dan tanpa meninggalkan upaya pemulihan kesehatan penderita, perlu adanya mobilisasi dini secara bertahap bagi pasien post operatif sectio caesarea selama di rumah sakit. Mobilisasi dini merupakan suatu tindakan rehabilitatif (pemulihan) yang dilakukan setelah pasien sadar dari pengaruh anastesi dan sesudah operasi. Mobilisasi berguna untuk membantu dalam jalannya penyembuhan luka (Rustam Moctar, 1992:179).Menurut Ruth Jhonson dalam bukunya Buku Ajar Praktik Kebidanan (2005:370) bahwa penambahan usia berpengaruh terhadap semua penyembuhan luka sehubungan dengan adanya gangguan sirkulasi dan koagulasi, respon inflamasi yang lebih lambat dan penurunan aktifitas fibroblas. Disamping itu nutrisi juga merupakan aspek yang paling penting dalam pencegahan dan pengobatan luka. Oleh karena itu peranan nutrisi dalam perawatan luka adalah kunci untuk intervensi (Suriadi, 1995:85) dimana abnormal penyembuhan luka dikaitkan dengan protein, kalori–mainutrisi daripada kekurangan salah satu unsur nutrisi.
Dilihat dari data di ruang kebidanan RSUD pada bulan Juli sampai Januari tercatat jumlah ibu yang melahirkan dengan sectio caesarea sebanyak 130 orang (32,3%) dari 402 pasien yang melakukan persalinan. Rata-rata lama hari pasien post sectio caesarea dirawat antara lain 6 pasien lama rawatannya berkisar antara hari ke-9 sampai hari ke-11, 67 pasien dirawat berkisar antara hari ke-6 sampai hari ke-8, 60 pasien dirawat berkisar antara hari ke-3 sampai hari ke-5. Dari data didapatkan bahwa rata-rata lama hari rawat pasien post sectio caesarea berkisar antara hari ke-6 sampai hari ke-8. Sedangkan menurut Dini Kasdu (2003:29) dalam bukunya Operasi Caesar, Masalah dan Solusinya, lama rawatan untuk pasien post sectio caesarea normal sekitar 3-5 hari
Berdasarkan masalah di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor–faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka pada Pasien Post Sectio Caesarea di Ruang Kebidanan RSUD Tahun ” .

Rumusan Masalah
Masih adanya pasien post sektio caesarea yang dirawat lebih dari 5 hari dan belum diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka pada pasien post sectio caesarea di ruang kebidanan RSUD Tahun .

1.3 Pertanyaan Penelitian
Apakah ada hubungan antara usia dengan proses penyembuhan luka pada pasien post sectio caesarea di ruang kebidanan RSUD ?
Apakah ada hubungan antara nutrisi dengan proses penyembuhan luka pada pasien post sectio caesarea di ruang kebidanan RSUD ?
Apakah ada hubungan antara mobilisasi dini pasien dengan proses penyembuhan luka pada pasien post sectio caesarea di ruang kebidanan RSUD ?

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka pada pat post sectio caesarea di ruang kebidanan RSUD .
Tujuan Khusus
Diperoleh gambaran tentang proses penyembuhan luka pada pasien post sectio caesarea di ruang kebidanan RSUD
Diperoleh gambaran tentang usia pesien terhadap proses penyembuhan luka pada pasien post sectio caesarea di ruang kebidanan RSUD
Diperoleh gambaran tentang pemenuhan nutrisi pesien terhadap proses penyembuhan luka pada pasien post sectio caesarea di ruang kebidanan RSUD
Diperoleh gambaram tentang mobilisasi dini pasien terhadap proses penyembuhan luka pasien post sectio caesarea di ruang kebidanan RSUD
Diperoleh informasi tentang hubungan antara usia pasien dengan proses penyembuhan luka pada pasien post sectio caesarea di ruang kebidanan RSUD
Diperoleh informasi tentang hubungan antara pemenuhan nutrisi pasien dengan proses penyembuhan luka pada pasien post sectio caesarea di ruang kebidanan RSUD
Diperoleh informasi tentang hubungan mobilisasi dini pasien dengan proses penyembuhan luka pada pasien post sectio caesarea di ruang kebidanan RSUD

Manfaat Penelitian
Bagi Peneliti
Peneliti dapat menerapkan ilmu pengetahuan di bangku perkuliahan tentang riset dan keperawatan medikal bedah serta ilmu lain yang mendukung
Bagi Institusi
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi bagi rumah sakit tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka pada pasien post sectio caesarea
Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi baru bagi institusi pendidikan khususnya bagi mahasiswa Poltekes Jurusan Keperawatan sebagai data pendukung bagi peneliti yang ingin melanjutkan penelitian dalam bidang yang sama.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan di ruang kebidanan RSUD pada bulan Juni tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka pada pasien post sectio caesarea, dimana terdiri dari variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen yaitu penyembuhan luka pada pat post sectio caesarea dan variabel independennya yaitu : usia, nutrisi, dan mobilisasi dini pesien dengan populasinya seluruh pasien post sectio caesarea di ruang kebidanan RSUD .


Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.247

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keenganan Akseptor KB Untuk Menggunakan Alat Kontrasepsi IUD di Puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan berbagai jenis masalah. Masalah utama yang dihadapi diIndonesia adalah dibidang kependudukan yang masih tingginya pertumbuhan penduduk. Keadaan penduduk yang demikian telah mempersulit usaha peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Semakin tinggi pertumbuhan penduduk semakin besar usaha yang dilakukan untuk mempertahankan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu Pemerintah terus berupaya untuk menekan laju pertumbuhan dengan Program Keluarga Berencana.
Program KB ini dirintis sejak tahun 1951 dan terus berkembang, sehingga pada tahun 1970 terbentuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Program ini salah satu tujuannya adalah penjarangan kehamilan mengunakan metode kontrasepsi dan menciptakan kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi seluruh masyarakat melalui usaha-usaha perencanaan dan pengendalian penduduk.
Pendapat Malthus yang dikutip oleh Manuaba (1998) mengemukakan bahwa pertumbuhan dan kemampuan mengembangkan sumber daya alam laksana deret hitung, sedangkan pertumbuhan dan perkembangan manusia laksana deret ukur, sehingga pada suatu titik sumber daya alam tidak mampu menampung pertumbuhan manusia telah menjadi kenyataan.
Berdasarkan pendapat di atas, diharapkan setiap keluarga memperhatikan dan merencanakan jumlah keluarga yang diinginkan berkenaan dengan hal tersebut. Paradigma baru Program KB Nasional telah diubah visinya dari mewujudkan NKKBS menjadi “Keluarga berkualitas 2015” untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas adalah keluarga sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, Harmonis, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Sarwono, 2003 ).
Gerakan KB Nasional selama ini telah berhasil mendorong peningkatan peran serta masyarakat dalam membangun keluarga kecil yang makin mandiri. Keberhasilan ini mutlak harus diperhatikan bahkan terus ditingkatkan karena pencapaian tersebut belum merata. Sementara ini kegiatan Keluarga Berencana masih kurangnya dalam pengunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Bila dilihat dari cara pemakaian alat kontasepsi dapat dikatakan bahwa 51,21 % akseptor KB memilih Suntikan sebagai alat kontrasepsi, 40,02 % memilih Pil, 4,93 % memilih Implant 2,72 % memilih IUD dan lainnya 1,11 %. Pada umumnya masyarakat memilih metode non MKJP. Sehingga metode KB MKJP seperti Intra Uterine Devices (IUD). Implamt, Medis Operatif Pria (MOP) dan Medis Operatif Wanita (MOW) kurang diminati. (www. bkkbn. go. id, 2005).
Berdasarkan data dari BKKBN propinsi Lampung akseptor aktif IUD sebanyak 13,01%. Kabupaten Kota Madya Metro jumlah peserta KB aktif IUD 2.541 orang atau 14,61 % dari seluruh metode KB. Menurut data yang diperoleh dari Puskesmas tahun , jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) adalah 4.037 jiwa, sedangkan yang menjadi peserta KB aktif adalah 3.632 jiwa. Dengan perincian sebagai berikut : KB Pil 1.341 orang atau 36,92 %, KB Suntik 1.174 orang atau 32,32 %, KB Implant 548 orang atau 15,08 %, KB IUD 395 orang atau 10,87%, KB MOW 146 orang atau 4,01 %, KB MOP 18 orang atau 0,49%, KB Kondom 10 orang atau 0,27 %.
Berdasarkan prasurvey di Puskesmas bahwa pengguna alat kontrasepsi Metode Kontrasepsi Jangka Panjang khususnya IUD dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor misalnya faktor tingkat ekonomi, usia, paritas, pendidikan. Pada umumnya PUS (Pasangan Usia Subur) yang telah menjadi akseptor KB lebih banyak menggunakan pil, suntik dan kondom. Namun pada akhir-akhir ini akseptor lebih dianjurkan untuk menggunakan program Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP), yaitu alat kontrasepsi spiral (IUD), susuk (Implant) dan kontap (Vasektomi dan Tubektomi). Metode ini lebih ditekankan karena MKJP dianggap lebih efektif dan lebih mantap dibandingkan dengan alat kontrasepsi pil, kondom maupun suntikan(www.bkkbn.go.id,1998). Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian mengenai “Faktor-faktor yang mempengaruhi Keenganan Akseptor KB untuk Menggunakan Alat Kontrasepsi IUD ” .

1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan hasil prasurvey di Puskesmas dari jumlah peserta KB aktif 3,632orang yang hanya menjadi peserta KB IUD hanya 10,87%. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor misalnya faktor tingkat ekonomi, usia, paritas, pendidikan. Dengan demikian peneliti ingin mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi keenganan akseptor KB untuk menggunakan alat kontrasepsi IUD
.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti merumuskan masalah sebagai berikut “Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keenganan akseptor KB untuk menggunakan alat kontrasepsi IUD di Puskesmas Kecamatan tahun ” .

1.4 Pertanyaan Peneliti
1.4.1 Apakah tingkat ekonomi berpengaruh terhadap pemilihan alat kontrasepsi IUD di Puskesmas ?
1.4.2 Apakah usia berpengaruh terhadap pemilihan alat kontrasepsi IUD di Puskesmas ?
1.4.3 Apakah paritas berpengaruh terhadap pemilihan alat kontrasepsi IUD diPuskesmas ?
1.4.4 Apakah pendidikan berpengaruh terhadap pemilihan alat kontrasepsi IUD di Puskesmas ?

1.5 Tujuan
1.5.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi keenganan akseptor KB untuk menggunakan alat kontrasepsi IUD.
1.5.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui apakah tingkat ekonomi berpengaruh terhadap pemilihan kontrasepsi IUD.
b. Untuk mengetahui apakah usia berpengaruh terhadap pemilihan kontrasepsi IUD.
c. Untuk mengetahui apakah paritas berpengaruh terhadap pemilihan kontrasepsi IUD.
d. Untuk mengetahui apakah pendidikan berpengaruh terhadap pemilihan alat kontrasepsi IUD.

1.6 Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Kecamatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan guna peningkatan pelayanan kontasepsi IUD demi terciptanya metode kontraswpsi efektif dan berjangka panjang.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya dalam memperbanyak referensi tentang alat kontrasepsi IUD dan sebagai acuan bagi peneliti selanjutnya.
3. Bagi akseptor IUD (Responden)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan motivasi bagi masyarakat setempat untuk mengerti dan memahami tentang fungsi, manfaat, serta efektifitas kontrasepsi IUD sehingga masyarakat semakin mengenal dan pemakaian kontrasepsi IUD semakin bertambah.
4. Bagi Peneliti
Penelitian ini sangat berguna untuk menambah pengalaman dan wawasan dalam penelitian serta sebagai bahan untuk menerapkan ilmu yang telah didapatkan selama kuliah.
5. Bagi Peneliti Lain
Agar dapat dijadikan masukan dalam penelitian serupa dan dapat lebih memperdalam penelitian yang sudah ada.

1.7 Ruang Lingkup
Ruang Lingkup penelitian sebagai berikut :
1. Objek Penelitian : Faktor- faktor yang mempengaruhi keenganan akseptor KB untuk menggunakan alat kontrasepsi IUD.
2. Subjek Penelitian : Seluruh akseptor KB di wilayah Pusksesmas Kecamatan
3. Lokasi Peneliti : Wilayah Puskesmas Kecamatan
4. Waktu Penelitian :
5. Jenis Penelitian : Studi Deskriptif dengan pendekatan cross sectional
6. Alasan : Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keenganan akseptor KB untuk menggunakan alat kontrasepsi IUD di Puskesmas Tahun


Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.246

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Mengonsumsi Makanan Fast Food pada Mahasiswa

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Budaya asing yang masuk ke Indonesia bukanlah sesuatu yang selalu bersifat positif tetapi juga bukan hal yang selalu bersifat negatif. Namun penekanannya adalah bagaimana bangsa ini menyikapi segala budaya yang masuk dengan tetap berpegang pada apa yang telah diyakininya sebagai suatu hal yang bersifat prinsipil dan mendasar bagi diri bangsa Indonesia sendiri, sehingga kita tidak akan kehilangan jati diri kita sebagai bangsa dan mengikuti kebudayaan bangsa lain dan pada akhirnya hanya akan menjadi tamu di rumah sendiri (Rahmawati. 2009).
Globalisasi berperan terhadap perubahan pola konsumsi masyarakat. Salah satunya adalah kebiasaan mengkonsumsi junk food yang banyak mengandung kalori, lemak dan kolestrol namun rendah serat telah menjadi gaya hidup baru di kalangan masyarakat Indonesia. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Health Education Authority (2002), usia 15 – 34 tahun adalah konsumen terbanyak yang memilih menu. Walaupun di Indonesia belum ada data pasti, keadaan tersebut dapat dipakai sebagai cermin dalam tatanan masyarakat Indonesia, bahwa rentang usia tersebut adalah golongan pelajar dan pekerja muda.
Seiring dengan perkembangan teknologi, gaya hidup sedentary (kurangnya aktivitas) semakin meningkat. Tidak sedikit masyarakat yang lebih memilih untuk mengendarai mobil dan motor daripada berjalan kaki atau naik sepeda . Hal ini ditambah pula dengan keterpaparan berbagai media komunikasi yang dapat mengubah perilaku seseorang, termasuk pola konsumsi seseorang yang kini lebih cenderung mengonsumsi makanan cepat saji atau fast food yang tinggi kalori. Aktivitas yang rendah disertai pola makan yang salah dapat menjadi salah satu masalah gizi yang lebih serius (Farhani, 2010)
Berdasarkan data market size dibeberapa sektor Industri di Indonesia ( SWA 01/XXIII/Februari 2008) Pada tahun 2008 pertumbuhan industri makanan di Indonesia mencapai 19,4% hal ini mengindikasikan bahwa konsumen makanan fast food semakin meningkat setiap tahunnya. Dari data survey ACNielsen online customer tahun 2007 mendapatkan hasil bahwa 28% masyarakat Indonesia mengonsumsi Fast Food minimal satu minggu sekali 33% diantaranya mengonsumsi saat makan siang. Tidak mengherankan jika Indonesia menjadi Negara ke 10 yang paling banyak masyarakatnya mengonsumsi makanan fast food.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mahdiah et al ( 2004) Remaja SLTP kota lebih banyak mengkonsumsi jenis fast food karena restoran atau counter fast food di kota menyediakan menu yang lebih banyak dan variatif dibandingkan di desa.
Gaya hidup kota yang serba praktis memungkinkan masyarakat modern sulit untuk menghindar dari fast food. Fast food memiliki beberapa kelebihan antara lain penyajian yang cepat sehingga tidak menghabiskan waktu lama dan dapat dihidangkan kapan dan dimana saja, higienis dan dianggap sebagai makanan bergengsi dan makanan gaul (Irianto,2007).
Perubahan dari pola makan tradisional ke pola makan barat seperti fast food yang banyak mengandung kalori, lemak dan kolesterol, ditambah kehidupan yang disertai stress dan kurangnya aktivitas fisik, terutama di kota-kota besar mulai menunjukkan dampak dengan meningkatnya masalah gizi lebih (obesitas) dan penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi dan diabetes miellitus (Hermina, 2003).
Konsumsi makanan cepat saji dapat mempengaruhi kualitas diet dan meningkatkan resiko obesitas karena tingginya kandungan lemak dan minimnya serat. Steander et.al (2007) dalam Farhani (2010) menyebutkan sebuah studi di Amerika menemukan bahwa konsumsi makanan cepat saji berhubungan positif dengan peningkatan berat badan. Seseorang yang mengonsumsi makanan cepat saji berhubungan positif dengan peningkatan berat badan. Seseorang yang mengonsumsi makanan cepat saji > 2 kali per minggu berat badannya meningkat 4,5 kg dan 104% meningkatkan resistensi insulin jika dibandingkan dengan mereka yang mengonsumsi makanan cepat saji 1 kali per minggu (Rahmawati,2009)
Akademi Kebidanan adalah sebuah institusi pendidikan bidan yang terletak di Tanjung barat jakarta selatan mahasiswa akademi kebidanan banyak yang berasal dari luar daerah membuat mereka cenderung memilih makanan fast food sebagai makanan keseharian mereka. Kecenderungan dalam mengkonsumsi fast food yang terlalu sering dapat menimbulkan penyakit degeneratif karena pada umumnya fast food miskin sayuran yang merupakan sumber serat dan terlalu tinggi protein untuk tiap porsinya (Siswono, 2008).
Berdasarkan uraian diatas penulis ingin melakukan penelitian tentang faktor – faktor yang mempengaruhi kebiasaan mengonsumsi makanan fast food pada mahasiswa Akademi Kebidanan

1.2 Rumusan Masalah
Era globalisasi turut merubah pula pola makan dari tradisional ke pola makan barat seperti fast food yang banyak mengandung kalori, lemak dan kolesterol, ditambah kehidupan yang disertai stress dan kurangnya aktivitas fisik, terutama di kota-kota besar mulai menunjukkan dampak dengan meningkatnya masalah gizi lebih (obesitas) dan penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi dan diabetes mellitus (Hermina, 2003) pemilihan tempat di Akademi Kebidanan karena mahasiswa banyak berasal dari luar daerah dan dari suku yang beragam sehingga menarik perhatian peneliti untuk mencari tahu faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi mahasiswa Akademi Kebidanan mengonsumsi fast food.

1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi makanan Fast food pada Mahasiswa Akademi Kebidanan
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui apakah ada hubungannya antara pengetahuan gizi dengan konsumsi fast food pada Mahasiswa Akademi Kebidanan
2. Untuk mengetahui apakah ada hubunganya antara menonton televisi dengan konsumsi fast food pada Mahasiswa Akademi Kebidanan
3. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara aktivitas fisik dengan konsumsi fast food pada Mahasiswa Akademi Kebidanan
4. Untuk mengetahui apakah pendidikan orang tua dengan konsumsi fast food pada Mahasiswa Akademi Kebidanan
5. Untuk mengetahui Apakah ada hubungan antara anggota keluarga dengan konsumsi fast food pada Mahasiswa Akademi Kebidanan

1.4 Ruang Lingkup
Penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi komsumsi fast food pada mahasiswa Akademi kebidanan ini ini direncanakan akan dilakukan pada bulan Mei – Juni di Akademi Kebidanan dengan menggunakan data primer melalui kuiseoner dan pengukuran pada Mahasiswa reguler Akdemi Kebidanan tahun ajaran.


Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.245

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Kecemasan Pada Lanjut Usia di Panti Wredha

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Masalah kesehatan jiwa di masyarakat semakin luas dan kompleks, saling berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Mengacu pada UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan ilmu kedokteran jiwa yang berkembang dengan pesat, secara garis besar masalah kesehatan jiwa digolongkan menjadi: masalah kualitas hidup, masalah gangguan jiwa, serta masalah psikososial (Kuntjoro, 2002).
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan dalam rangka tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan upaya pengelolaan berbagai sumber daya pemerintah maupun masyarakat sehingga dapat disediakan pelayanan kesehatan yang efisien, bermutu, dan terjangkau. Hal ini perlu dukungan dnegan komitmen yang tinggi terhadap kemauan, etika, dan dilaksanakan dengan semangat pemberdayaan yang tinggi, dengan prioritas kepada upaya kesehatan dan pengendalian penyakit di samping penyembuhan dan pemulihan (Febri, 2006).
Penduduk lanjut usia merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup. Pada tahun 1980 penduduk lanjut usia baru berjumlah 7,7 juta jiwa atau 5,2 persen dari seluruh jumlah penduduk pada tahun 1990 jumlah penduduk lanjut usia meningkat menjadi 11,3 juta orang atau 8,9 persen. Jumlah ini meningkat di seluruh Indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2 persen dari seluruh penduduk. Dan diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 29 juta orang atau 11,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu. Angka harapan hidup penduduk Indonesia berdasarkan data biro pusat statistik pada tahun 1968 adalah 45,7 tahun, pada tahun 1980: 55,30 tahun, pada tahun 1985: 58,19 tahun, pada tahun 1990 : 16,12 tahun, dan tahun 1995: 60,05 tahun serta tahun 2000: 64,05 tahu (Biro Pusat Statistik, 2000).
Propinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Propinsi besar dengan jumlah penduduk lanjut usia pada tahun 2000 mencapai 9,6 persen. Angka tersebut jauh di atas jumlah lansia Nasional yang hanya 7,6 persen pada tahun 2000. Usia harapan hidup mencapai 64,9 tahun, dimana penduduk lansia wanita rata-rata 67,2 tahun dan pria 63,8 tahun. Secara kuantitatif kedua parameter tersebut berdampak pada berbagai persoalan yang akan dihadapi seperti masalah sandang, pangan, papan, kesehatan, ekonomi dan lainnya (Depkes, 2002).
Meningkatnya jumlah lanjut usia maka membutuhkan penanganan yang serius karena secara alamiah lanjut usia itu mengalami penurunan baik dari segi fisik, biologi, maupun mentalnya dan hal ini tidak terlepas dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya sehingga perlu adanya peran serta keluarga dan adanya peran sosial dalam penanganannya. Menurunnya fungsi berbagai organ lansia menjadi rentan terhadap penyakit yang bersifat akut atau kronis. Ada kecenderungan terjadi penyakit degeneratif, penyakit metabolik, gangguan psikososial, dan penyakit infeksi meningkat (Nugroho, 2004).
Kelompok rentan yang mempunyai kemungkinan terbesar untuk menjadi korban peruabahan sosial adalah kelompok usia lanjut. Mereka yang memiliki konsep hidup tradisional, seperti harapan akan dihormati dan dirawat di masa tua, atau hubungan erat dengan anak yang telah dewasa. Pada kenyataannya harus hidup dalam sistem nilai yang berbeda dengan yang dianut misalnya kurang perasaan dihormati, karena anak tidak lagi tergantung secara ekonomi pada orang tua, serata kurangnya waktu bagi menantu perempuan untuk menjaga orang tua, karena bekerja. Keadaan ini dapat mempengaruhi psikologis dan kesejahteraan lanjut usia (Isfandari, 1999).
Pada umumnya masalah kesepian adalah masalah psikologis yang paling banyak dialami lanjut usia. Beberapa penyebab kesepian antara lain (1) Longgarnya kegiatan dalam mengasuh anak-anak karena anak-anak sudah dewasa dan bersekolah tinggi sehingga tidak memerlukan penanganan yang terlampau rumit (2) Berkurangnya teman atau relasi akibat kurangnya aktivitas sehingga waktu yang bertambah banyak (3) Meninggalnya pasangan hidup (4) Anak-anak yang meninggalkan rumah karena menempu pendidikan yang lebih tinggi, anak-anak yang meninggalkan rumah untuk bekerja, (5) Anak-anak telah dewasa dan membentuk rumah tangga sendiri. Beberapa masalah tersebut akan menimbulkan rasa kesepian lebih cepat bagi orang lanjut usia. Dari segi inilah lanjut usia mengalami masalah psikologis yang banyak mempengaruhi kesehatan psikis, sehingga menyebabkan orang lanjut usia kurang mandiri (Suhartini, 2004).
Pada orang lanjut usia sering mengalami depresi pada orang berumur 60-an, mereka mengatakan kekhawatiran tentang rasa takutnya terhadap kematian, kehilangan keluarga atau teman karib, kedudukan sosial, pekerjaan, uang, atau mungkin rumah tinggi, semua ini dapat menimbulkan reaksi yang merugikan. Bagi kebanyakan orang lanjut usia, kehilangan sumber daya ditambahkan pada sumber daya yang memang sudah terbatas. Yang menarik perhatian ialah kekurangan kemampuan adaptasi berdasarkan hambatan psikologik, yaitu rasa khawatir dan takut yang diperoleh dari rasa lebih muda dan yang dimodifikasi, diperkuat dan diuraikan sepanjang masa hidup individu (Maramis, 2004).
Panti Wredha merupakan salah satua tempat untuk merawat lansia di Karisidenan , dengan jumlah tempat hunian 85 tempat tidur. Rata-rata Panti Wredha merawat dan menampung sekitar 89 lansia. Kegiatan-kegiatan setiap harinya untuk lansia diatur sesuai jadwal kegiatan dan dilakukan secara rutinitas setiap harinya.
Hasil survey pendahuluan yang peneliti laksanakan di panti Sosial Wredha Kota , kepala panti menjelaskan jumlah lansia terdiri dari laki-laki 33 orang dan perempuan 56 orang yang tinggal di panti tersebut, beberapa disebabkan karena tidak mempunyai keluarga atau sengaja dititipkan oleh anggota keluarganya, namun demikian perhatian keluarga dapat dikatakan cukup baik, hal ini dapat diketahui bahwa minimal setiap minggu sekali keluarganya mengunjungi mereka, namun ada beberapa minggu baru dikunjungi oleh keluarga mereka.
Hasil wawancara dengan beberapa lansia mengatakan bahwa mereka sebenarnya lebih senang bersama-sama dengan anggota keluarga, tapi kaerna tidak ingin membebani anggota keluarganya mereka akhirnya bersedia tinggal di panti tersebut. Walaupun setiap harinya mereka berada di panti dan dapat mengikuti setiap kegiatan yang dijadwalkan tapi mereka masih selalu memikirkan anak cucu mereka yang berada di rumah. Sehingga membuat mereka merasa cemas, kurang tidur, dan kadang bermimpi buruk tentang keadaan keluarga yang dirumah. Hal-hal tersebut merupakan beberapa gejala awal kecemasan lansia.
Menurut Stuart and Sundeen (1998) kecemasan adalah suatu keadaan perasaan kepribadian, rasa gelisah, ketidaktentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal. Faktor yang mempengaruhi kecemasan antara lain frustasi, konflik, ancaman, harga diri, lingkungan yang berupa dukungan sosial, lingkungan, pendidikan, usia dan jenis kelamin. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiatmoko (2001), tentang dukungan sosial dengan derajat depresi pada lansia di poliklinik Geriatri RSUD Dr. Sarjito Yogyakarta, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peran keluarga dalam pemenuhan kebutuhan perawatan kesehatan termasuk cukup baik (51,5%), dukungan sosial berupa dukungan emosional (64,10%) dan dukungan keluarga sangat baik (68,50%), dan ternyata dengan dukungan sosial merupakan derajat depresi pada pasien lansia.
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya kecemasan pada lansia di Panti Wredha .

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti dapat merumuskan suatu masalah sebagai berikut:
Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan terjadinya kecemasan pada lanjut usia di Panti Wredha Kota ”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya kecemasan pada usia lanjut (lansia) di Panti Wredha Kota .
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan motivasi dengan terjadinya kecemasan pada lansia di Panti Wredha .
b. Mengetahui hubungan dukungan sosial dengan terjadinya kecemasan pada lansia di Panti Wredha .
c. Mengetahui hubungan umur dengan terjadinya kecemasan pada lansia di Panti Wredha .
d. Mengetahui hubungan jenis kelamin dengan terjadinya kecemasan pada lansia di Panti Wredha .

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktik dan teoritis sebagai berikut:
1. Manfaat Istalasi Panti Wredha
Untuk sebagai bahan masukan bagi Panti Wredha untuk dapat memberikan pelayanan yang tepat pada lanjut usia.
2. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Untuk penyediaan data dasar yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut, khususnya dalam penatalaksanaan lanjut usia. Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan terjadinya kecemasan pada lansia, sehingga membantu dalam pembelajaran terhadap kecemasan lansia.
3. Manfaat Bagi Peneliti
Untuk menambah pemahaman dan pendalaman peneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya kecemasan pada lanjut usia di Panti Wredha .



Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.244

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Kecemasan pada Lanjut Usia

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Masalah kesehatan jiwa di masyarakat semakin luas dan kompleks, saling berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Mengacu pada UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan ilmu kedokteran jiwa yang berkembang dengan pesat, secara garis besar masalah kesehatan jiwa digolongkan menjadi: masalah kualitas hidup, masalah gangguan jiwa, serta masalah psikososial (Kuntjoro, 2002).
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan dalam rangka tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan upaya pengelolaan berbagai sumber daya pemerintah maupun masyarakat sehingga dapat disediakan pelayanan kesehatan yang efisien, bermutu, dan terjangkau. Hal ini perlu dukungan dnegan komitmen yang tinggi terhadap kemauan, etika, dan dilaksanakan dengan semangat pemberdayaan yang tinggi, dengan prioritas kepada upaya kesehatan dan pengendalian penyakit di samping penyembuhan dan pemulihan (Febri, 2006).
Penduduk lanjut usia merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup. Pada tahun 1980 penduduk lanjut usia baru berjumlah 7,7 juta jiwa atau 5,2 persen dari seluruh jumlah penduduk pada tahun 1990 jumlah penduduk lanjut usia meningkat menjadi 11,3 juta orang atau 8,9 persen. Jumlah ini meningkat di seluruh Indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2 persen dari seluruh penduduk. Dan diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 29 juta orang atau 11,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu. Angka harapan hidup penduduk Indonesia berdasarkan data biro pusat statistik pada tahun 1968 adalah 45,7 tahun, pada tahun 1980: 55,30 tahun, pada tahun 1985: 58,19 tahun, pada tahun 1990 : 16,12 tahun, dan tahun 1995: 60,05 tahun serta tahun 2000: 64,05 tahu (Biro Pusat Statistik, 2000).
Propinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Propinsi besar dengan jumlah penduduk lanjut usia pada tahun 2000 mencapai 9,6 persen. Angka tersebut jauh di atas jumlah lansia Nasional yang hanya 7,6 persen pada tahun 2000. Usia harapan hidup mencapai 64,9 tahun, dimana penduduk lansia wanita rata-rata 67,2 tahun dan pria 63,8 tahun. Secara kuantitatif kedua parameter tersebut berdampak pada berbagai persoalan yang akan dihadapi seperti masalah sandang, pangan, papan, kesehatan, ekonomi dan lainnya (Depkes, 2002).
Meningkatnya jumlah lanjut usia maka membutuhkan penanganan yang serius karena secara alamiah lanjut usia itu mengalami penurunan baik dari segi fisik, biologi, maupun mentalnya dan hal ini tidak terlepas dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya sehingga perlu adanya peran serta keluarga dan adanya peran sosial dalam penanganannya. Menurunnya fungsi berbagai organ lansia menjadi rentan terhadap penyakit yang bersifat akut atau kronis. Ada kecenderungan terjadi penyakit degeneratif, penyakit metabolik, gangguan psikososial, dan penyakit infeksi meningkat (Nugroho, 2004).
Kelompok rentan yang mempunyai kemungkinan terbesar untuk menjadi korban peruabahan sosial adalah kelompok usia lanjut. Mereka yang memiliki konsep hidup tradisional, seperti harapan akan dihormati dan dirawat di masa tua, atau hubungan erat dengan anak yang telah dewasa. Pada kenyataannya harus hidup dalam sistem nilai yang berbeda dengan yang dianut misalnya kurang perasaan dihormati, karena anak tidak lagi tergantung secara ekonomi pada orang tua, serata kurangnya waktu bagi menantu perempuan untuk menjaga orang tua, karena bekerja. Keadaan ini dapat mempengaruhi psikologis dan kesejahteraan lanjut usia (Isfandari, 1999).
Pada umumnya masalah kesepian adalah masalah psikologis yang paling banyak dialami lanjut usia. Beberapa penyebab kesepian antara lain (1) Longgarnya kegiatan dalam mengasuh anak-anak karena anak-anak sudah dewasa dan bersekolah tinggi sehingga tidak memerlukan penanganan yang terlampau rumit (2) Berkurangnya teman atau relasi akibat kurangnya aktivitas sehingga waktu yang bertambah banyak (3) Meninggalnya pasangan hidup (4) Anak-anak yang meninggalkan rumah karena menempu pendidikan yang lebih tinggi, anak-anak yang meninggalkan rumah untuk bekerja, (5) Anak-anak telah dewasa dan membentuk rumah tangga sendiri. Beberapa masalah tersebut akan menimbulkan rasa kesepian lebih cepat bagi orang lanjut usia. Dari segi inilah lanjut usia mengalami masalah psikologis yang banyak mempengaruhi kesehatan psikis, sehingga menyebabkan orang lanjut usia kurang mandiri (Suhartini, 2004).
Pada orang lanjut usia sering mengalami depresi pada orang berumur 60-an, mereka mengatakan kekhawatiran tentang rasa takutnya terhadap kematian, kehilangan keluarga atau teman karib, kedudukan sosial, pekerjaan, uang, atau mungkin rumah tinggi, semua ini dapat menimbulkan reaksi yang merugikan. Bagi kebanyakan orang lanjut usia, kehilangan sumber daya ditambahkan pada sumber daya yang memang sudah terbatas. Yang menarik perhatian ialah kekurangan kemampuan adaptasi berdasarkan hambatan psikologik, yaitu rasa khawatir dan takut yang diperoleh dari rasa lebih muda dan yang dimodifikasi, diperkuat dan diuraikan sepanjang masa hidup individu (Maramis, 2004).
Panti Wredha merupakan salah satua tempat untuk merawat lansia di Karisidenan , dengan jumlah tempat hunian 85 tempat tidur. Rata-rata Panti Wredha merawat dan menampung sekitar 89 lansia. Kegiatan-kegiatan setiap harinya untuk lansia diatur sesuai jadwal kegiatan dan dilakukan secara rutinitas setiap harinya.
Hasil survey pendahuluan yang peneliti laksanakan di panti Sosial Wredha Kota , kepala panti menjelaskan jumlah lansia terdiri dari laki-laki 33 orang dan perempuan 56 orang yang tinggal di panti tersebut, beberapa disebabkan karena tidak mempunyai keluarga atau sengaja dititipkan oleh anggota keluarganya, namun demikian perhatian keluarga dapat dikatakan cukup baik, hal ini dapat diketahui bahwa minimal setiap minggu sekali keluarganya mengunjungi mereka, namun ada beberapa minggu baru dikunjungi oleh keluarga mereka.
Hasil wawancara dengan beberapa lansia mengatakan bahwa mereka sebenarnya lebih senang bersama-sama dengan anggota keluarga, tapi kaerna tidak ingin membebani anggota keluarganya mereka akhirnya bersedia tinggal di panti tersebut. Walaupun setiap harinya mereka berada di panti dan dapat mengikuti setiap kegiatan yang dijadwalkan tapi mereka masih selalu memikirkan anak cucu mereka yang berada di rumah. Sehingga membuat mereka merasa cemas, kurang tidur, dan kadang bermimpi buruk tentang keadaan keluarga yang dirumah. Hal-hal tersebut merupakan beberapa gejala awal kecemasan lansia.
Menurut Stuart and Sundeen (1998) kecemasan adalah suatu keadaan perasaan kepribadian, rasa gelisah, ketidaktentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal. Faktor yang mempengaruhi kecemasan antara lain frustasi, konflik, ancaman, harga diri, lingkungan yang berupa dukungan sosial, lingkungan, pendidikan, usia dan jenis kelamin. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiatmoko (2001), tentang dukungan sosial dengan derajat depresi pada lansia di poliklinik Geriatri RSUD Dr. Sarjito Yogyakarta, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peran keluarga dalam pemenuhan kebutuhan perawatan kesehatan termasuk cukup baik (51,5%), dukungan sosial berupa dukungan emosional (64,10%) dan dukungan keluarga sangat baik (68,50%), dan ternyata dengan dukungan sosial merupakan derajat depresi pada pasien lansia.
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya kecemasan pada lansia di Panti Wredha .

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti dapat merumuskan suatu masalah sebagai berikut:
”Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan terjadinya kecemasan pada lanjut usia di Panti Wredha Kota ”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya kecemasan pada usia lanjut (lansia) di Panti Wredha Kota .
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan motivasi dengan terjadinya kecemasan pada lansia di Panti Wredha .
b. Mengetahui hubungan dukungan sosial dengan terjadinya kecemasan pada lansia di Panti Wredha .
c. Mengetahui hubungan umur dengan terjadinya kecemasan pada lansia di Panti Wredha .
d. Mengetahui hubungan jenis kelamin dengan terjadinya kecemasan pada lansia di Panti Wredha .

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktik dan teoritis sebagai berikut:
1. Manfaat Istalasi Panti Wredha
Untuk sebagai bahan masukan bagi Panti Wredha untuk dapat memberikan pelayanan yang tepat pada lanjut usia.
2. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Untuk penyediaan data dasar yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut, khususnya dalam penatalaksanaan lanjut usia. Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan terjadinya kecemasan pada lansia, sehingga membantu dalam pembelajaran terhadap kecemasan lansia.
3. Manfaat Bagi Peneliti
Untuk menambah pemahaman dan pendalaman peneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya kecemasan pada lanjut usia di Panti Wredha .


Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.243

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi pada Balita di Desa

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Masalah kurang gizi bukanlah hal yang baru namun masalah ini tetap aktual terutama di negara-negara berkembang terutama pada anak balita. Masalah gizi di Indonesia lebih banyak terjadi pada anak di bawah lima tahun, meskipun selama 10 tahun terakhir terdapat kemajuan dalam penanggulangan masalah gizi di Indonesia. Status gizi masyarakat dapat dinilai dari keadaan gizi balita. Masalah gangguan gizi di Indonesia adalah 4 dari 10 anak balita mengalami gangguan pertumbuhan fisik dan tingkat kecerdasan disebabkan karena penyakit kekuarangan gizi berupa Kurang Energi Protein (KEP).1 Anak yang mengalami gangguan gizi berpengaruh pada tumbuh kembang anak di masa mendatang. Mereka mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada rentang waktu ini sehingga membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup dan memadai. 2
Kurang gizi pada masa balita dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial, dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa. Secara lebih spesifik, kekurangan gizi dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan badan, lebih penting lagi keterlambatan perkembangan otak, dan dapat pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi .3
Masalah gizi kurang pada balita disebabkan oleh berbagai hal, baik faktor penyebab langsung maupun tidak langsung. Faktor penyebab langsung yaitu pola makan yang tidak memenuhi syarat, mengakibatkan rendahnya masukan energi dan protein dalam makanan sehari – hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi dan adanya penyakit infeksi yang dapat menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan sehingga mengakibatkan terjadi kekurangan jumlah makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuhnya, bahkan penyakit infeksi tersebut merupakan penyebab kematian balita di Indonesia diantaranya pneumonia 23,6%, diare 16,6%, infeksi berat 15,1%, guzu buruk + BGM 3,6% 4.
Penyakit infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh yang menimbulkan reaksi tidak normal terhadap tubuh. Penyakit infeksi tersebut dapat menyebabkan merosotnya nafsu makan atau menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan, sehingga menurunnya konsumsi makanan ke dalam tubuh, hal ini dapat mengakibatkan gizi kurang.5
Berdasarkan data statistik Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI, dari 241.973.879 penduduk Indonesia sebanyak 18,4% orang menderita gizi kurang, jumlah anak di bawah usia lima tahun atau balita yang menderita gizi buruk secara nasional tercatat 76.178 orang. Sumber dari WHO (2006) menyebutkan kelaparan dan kurang gizi menyebabkan angka kematian tertinggi di seluruh dunia. Sedikitnya 17.289 nyawa anak-anak melayang setiap hari karena sebab kelaparan dan kurang gizi. Jumlah balita Kurang Energi Protein (KEP) di Indonesia, menurut laporan UNICEF 2006 menjadi 2,3 juta jiwa, atau meningkat dari 1,8 juta pada tahun 2005 4.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat tahun 2009 bahwa jumlah penderita gizi kurang sudah mencapai 416.000 orang. Dari jumlah balita kurang gizi di Jawa Barat tersebut terdapat 119.285 terkena infeksi saluran pernafasan (pneumonia). Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola makan yang tidak memadai, infeksi lain serta pola asuh yang tidak memadai 6.
Data pada tahun 2009 menunjukkan jumlah balita di Kabupaten sebanyak 16.386 balita yang tersebar di 39 kecamatan telah dinyatakan mengalami kekurangan gizi. Jumlah balita penderita gizi buruk, tercatat sebanyak 566 balita. Dari jumlah sebanyak itu, di antaranya 408 balita gizi buruk dari keluarga miskin, dan sebanyak 158 dari keluarga nongakin.7 Hasil survey pendahuluan yang dilakukan peneliti di Puskesmas bahwa pada tahun 2009 terjadi kasus gizi kurang yaitu sebanyak 136 orang (2.1%) dari 6458 balita. Data tersebut ditunjang oleh kasus gizi kurang di desa tawang sebanyak 7 orang, desa pangliaran sebanyak 15 orang, buniasih sebanyak 15 orang, sedangkan yang paling tinggi terdapat di desa . dari jumlah balita yang ada di desa sebanyak 530 orang yang mengalami gizi kurang sebanyak 37 orang (6,98%). Disisi lain terdapat adanya kasus angka kesakitan diare yaitu mencapai 189 kasus, pneumonia 17 kasus dan dan 12 TBC 24 kasus8
Disamping itu, hasil studi pendahuluan terhadap 5 orang ibu balita menggunakan recall 24 jam tentang pola makan yang terdiri dari jenis makanan pokok yang di konsumsi sebanyak 3 orang responden mengkonsumsi singkong yang di campur dengan nasi dengan frekwensi 2 kali sehari dan porsinya ½ piring kemudian jenis lauk pauk yang di konsumsi kerupuk dicampur kecap kadang-kadang tahu, dan sisanya memberikan pola makan sesuai dengan kebutuhan bayi. Ke lima responden mengkonsumsi sayur-sayuran seperti bayam, adapun mengenai buah-buahan sebanyak 2 responden mengaku biasa memberikan pisang dan pepaya tetapi tidak rutin, sebanyak 1 responden mengaku jarang sekali memberikan buah-buahan, dan 2 orang responden biasa memberikan buah-buahan sesuai kebutuhan balita. Dari hasil wawancara tersebut diperoleh keterangan bahwa pemberian pola makan yang tidak teratur, tidak sesuai dengan kebutuhan nutrisi yang baik untuk balita, ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai dan jarang melakukan pemeriksaan tumbuhkembang ke Posyandu sebagai deteksi status gizi pada balita. Sehingga dari perilaku tersebut memberikan dampak yang buruk terhadap status gizi balita.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada balita di Desa Kecamatan Kabupaten tahun .

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
”Faktor apa saja yang berhubungan dengan status gizi pada balita di Desa Kecamatan Kabupaten tahun ?”

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini terdiri dari :
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada balita di Desa Kecamatan Kabupaten tahun .
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui gambaran pola makan pada balita di Desa Kecamatan Kabupaten tahun .
2. Mengetahui gambaran penyakit infeksi pada balita di Desa Kecamatan Kabupaten tahun .
3. Mengetahui gambaran status gizi pada balita di Desa Kecamatan Kabupaten tahun .
4. Mengetahui hubungan faktor penyakit infeksi dengan status gizi balita di Desa Kecamatan Kabupaten tahun .
5. Mengetahui hubungan faktor pola makan dengan status gizi balita di Desa Kecamatan Kabupaten tahun .

1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pengembangan Ilmu Kebidanan, Ilmu Gizi dan Ilmu Perilaku.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku yang lebih baik dalam penanganan masalah status gizi pada balita.
2. Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan bahan masukan bagi Puskesmas dalam meningkatkan dan memperbaiki pelaksanaan upaya penanggulangan masalah gizi pada balita.
3. Institusi Pendidikan
Sebagai bahan pengembangan pendidikan dan penelitian pada disiplin ilmu kesehatan masyarakat khususnya bidang gizi yang berhubungan dengan status gizi pada balita.
4. Bagi Penulis
Hasil penelitian ini dapat meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan mengenai status gizi pada balita sehingga dapat menerapkan dan mengimplementasikan dilapangan.



Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.242

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pencapaian Target Cakupan Imunisasi HB 0 – 7 Hari di Puskesmas

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap tahun di seluruh dunia, jutaan manusia meninggal karena penyakit yang sebenarnya masih dapat dicegah dengan imunisasi, kejadian ini dikarenakan kurangnya informasi tentang pentingnya imunisasi pada penduduk yang memiliki resiko tinggi terserang penyakit menular yang mematikan seperti difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B dan masih banyak lagi penyakit-penyakit lainnya yang sewaktu-waktu muncul dan mematikan. Salah satu upaya pencegahan penyakit yang efektif adalah melalui pemberian imunisasi. Imunisasi diberikan pada anak untuk melindunginya dari penyakit-penyakit berbahaya, yang sering kali dapat mengakibatkan cacat atau kematian.1
Menurut Ranuh (2005), salah satu penyebab kematian bayi yang berhubungan dengan imunisasi adalah Hepatitis B yang dapat menimbulkan dampak pada penyakit kanker hati dan sirrosis hati yang sampai sekarang belum ada obatnya, biasanya penderita meninggal setelah beberapa bulan atau beberapa tahun. Penyakit Hepatitis adalah penyakit radang hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis. Hepatitis dibedakan menjadi 3 yaitu Hepatitis A, Hepatitis B dan Hepatitis non-A, Non-B. Penyakit hepatitis B merupakan penyakit endemik disebabkan oleh virus hepatitis B.2
Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2005 sebanyak 70 juta jiwa anak-anak di negara miskin dapat diselamatkan dari penyakit-penyakit infeksi yang umumnya menjangkiti mereka dan pada tahun 2006 sebanyak 19 juta jiwa dapat disembuhkan melalui kegiatan imunisasi. Secara epidemiologi penyakit ini tersebar di seluruh dunia, angka kejadian paling tinggi tercatat di negara Afrika dan Asia, khususnya di daerah Afrika Sahara dan Asia Tenggara. Di Taiwan, satu di antara 7 orang dilaporkan mengidap virus hepatitis B. Angka kejadian penyakit hepatitis B di Indonesia adalah satu diantara 12–14 orang. Hepatitis B ini hampir 100 kali lebih infeksius dibandingkan dengan virus HIV Indonesia bahkan sudah dikategorikan sebagai negara dengan tingkat endemisitas yang tinggi dimana prevalensi HbsAg-nya lebih dari 8 persen.3
Kejadian infeksi Hepatistis pada ibu hamil yang dapat ditularkan kepada bayinya di Indonesia cukup tinggi. Infeksi hepatitis pada ibu hamil di Indonesia pada tahun 2001 prevelensinya sebesar 4% dan penularan dari ibu hamil yang mengidap hepatitis ke bayinya pada tahun yang sama sebesar 45.9%.4
Oleh karena itu pencegahan merupakan kunci utama untuk mengurangi sumber penularan serta penurunan angka mortalitas dan morbiditas akibat penyakit hepatitis B. Pencegahan ini dapat dilakukan sedini mungkin pada bayi dan balita melalui pemberian imunisasi hepatitis B. Pemerintah Indonesia melalui Program Pengembangan Imunisasinya (PPI) sejalan dengan komitmen internasional Universal Child Immunization (UCI), telah menargetkan “Universal Child Immunization 80-80-80” sebagai target cakupan imunisasi untuk BCG, HB 0-7 HARI, polio, campak, dan hepatitis B, harus mencapai cakupan 80% baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten bahkan di setiap desa. Saat ini data infeksi hepatitis B masih tinggi yaitu angka kejadiannya 4%-30% pada orang normal, sedangkan pada penyakit hati menahun angka kejadiannya 20%-40% Bila program imunisasi ini berhasil, diharapkan pada tahun 2015 (satu generasi kemudian) hepatitis B bisa diberantas dan bukan merupakan persoalan kesehatan masyarakat lagi.5
Pencegahan terhadap penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi telah menampakan hasilnya. Meskipun program pemberian imunisasi sudah dijalankan dengan baik, namun masih terdapat beberapa cakupan imunisasi yang tidak tercapai. Masalah rendahnya cakupan imunisasi kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah, kurangnya pengetahuan ibu tentang imunisasi, kurangnya informasi dan penyuluhan yang diberikan kepada ibu yang mempunyai bayi dan balita tentang imunisasi, sosial ekonomi, kebudayaan dan jauhnya fasilitas pelayanan kesehatan serta sulitnya vaksin yang didapat didaerah terpencil. 6
Secara nasional, pencapaian UCI tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 6.8% dari 69.43% pada tahun 2005 menjadi 76.23% pada tahun 2007. Akan tetapi pada tahun 2009 pencapaian UCI secara nasional kembali turun hanya menjadi 68,3%. Cakupan imunisasi Hepatitis B (Hb) 0-7 hari di Propinsi Riau Tahun 2009 adalah 55,41% dari 80 % target cakupan imunisasi. 7
Kabupaten yang mempunyai cakupan 17 Puskesmas dengan sasaran bayi berjumlah 8.944 bayi, pada tahun 2010 ternyata terdapat 5 puskesmas yang cakupan imunisasi Hb 0 – 7 hari adalah 0 % yaitu Puskesmas , Puskesmas Sipayung, Puskesmas Kilan, Puskesmas Lubuk Kandis dan Puskesmas Peranap.Dari data diatas maka didapatkan fakta bahwa cakupan imunisasi Hb 0 – 7 hari di Kabupaten belum mencapai sasaran yaitu cakupan imunisasinya masih 85 % per tahun sementara menurut data yang didapatkan dari Dinas Kesehatan Kabupaten , jumlah vaksin yang dibutuhkan untuk imunisasi Hb 0-7 hari memadai untuk pencapaian target cakupan imunisasi sebesar 90%. 8
Wilayah kerja Puskesmas merupakan salah satu daerah dimana tidak ada satupun bayi yang dilaksanakan imunisasi Hepatitis B 0-7 hari padahal seharusnyasemua ibu bersalin atau keluarganya dapat meinta kepada tenaga kesehatan penelolng persalinannya untuk dapat memeberikan vaksin imunisasi Hb 0-7 hari ini secara gratis. Hal ini disinyalir oleh kurangnya pengetahuan ibu hamil dan ibu bersalin tentang pentingnya imunisasi Hb 0-7 hari bagi bayinya.
Dari hasil penelitian Maslianty (2009) tentang pengetahuan ibu tentang imunisasi di Puskesmas Pekan Heran Rengat Barat didapatkan bahwa pengetahuan ibu tentang imunisasi berkategori kurang atau nihil, dipengaruhi oleh kurangnya penyuluhan yang diberikan oleh tenaga kesehatan disaat kegiatan posyandu dan sikap yang kurang baik di dalam suatu komunitas diwilayah tersebut. Secara tidak langsung hal ini dapat mempengaruhi program cakupan imunisasi yang sudah diselenggarakan.9
Kenyataan tersebut diatas membuat peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai rendahnya cakupan imunisasi Hb 0 ini pada proposal penelitian ini dengan judul Faktor-faktor yang berhubungan dengan Pencapaian Target Cakupan Imunisasi Hb 0 – 7 hari di Puskesmas Kabupaten Tahun .

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka peneliti membuat rumusan masalah yaitu : ”Faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan pencapaian target cakupan imunisasi Hb 0 – 7 hari di Puskesmas Kabupaten Tahun ?”

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pencapaian target cakupan imunisasi Hb 0 – 7 hari di Puskesmas Kabupaten Tahun .
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pencapaian target cakupan imunisasi Hb 0 – 7 hari di Puskesmas Kabupaten Tahun .
b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pendidikan ibu bersalin terhadap pencapaian target cakupan imunisasi Hb 0 – 7 hari di Puskesmas Kabupaten Tahun .
c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan ibu bersalin terhadap pencapaian target cakupan imunisasi Hb 0 – 7 hari di Puskesmas Kabupaten Tahun .
d. Untuk mengetahui distribusi frekuensi sikap ibu bersalin terhadap pencapaian target cakupan imunisasi Hb 0 – 7 hari di Puskesmas Kabupaten Tahun .
e. Untuk mengetahui distribusi frekuensi lingkungan ibu bersalin terhadap pencapaian target cakupan imunisasi Hb 0 – 7 hari di Puskesmas Kabupaten Tahun .
f. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu bersalin dengan pencapaian target cakupan imunisasi Hb 0 – 7 hari di Puskesmas Kabupaten Tahun .
g. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu bersalin dengan pencapaian target cakupan imunisasi Hb 0 – 7 hari di Puskesmas Kabupaten Tahun .
h. Untuk mengetahui hubungan sikap ibu bersalin dengan pencapaian target cakupan imunisasi Hb 0 – 7 hari di Puskesmas Kabupaten Tahun .
i. Untuk mengetahui hubungan lingkungan ibu bersalin dengan pencapaian target cakupan imunisasi Hb 0 – 7 hari di Puskesmas Kabupaten Tahun .

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Lahan Penelitian
Dapat menjadi masukan bagi Dinas kesehatan Kabupaten , Puskesmas serta instansi terkait lainnya dalam meningkatkan upaya pelayanan kesehatan khususnya dalam pemberian imunisasi Hb 0-7 hari.
1.4.2 Bagi Pendidikan
Hasil penelitian dijadikan referensi, bahan bacaan dalam penelitian selanjutnya.
1.4.3 Bagi Peneliti
Sebagai Evidence based atau penelitian pendahulu yang dapat dijadikan dasar bagi penelitian – penelitian selanjutnya.



Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.241

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TBC-Paru

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis paru masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia. Penyakit tuberkulosis paru banyak menyerang usia kerja produktif, kebanyakan dari kelompok sosial ekonomi rendah dan berpendidikan rendah. Meningkatnya kasus HIV/AIDS yang menurunkan daya tubuh juga menyebabkan meningkatnya kembali penyakit TBC dinegara-negara yang sudah berhasil mengendalikan penyakit. Banyak penderita yang tidak berhasil disembuhkan, penderita dengan basil tahan asam (BTA) positif berisiko menularkan penyakit pada orang lainnya. Tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC. Diperkirakan setiap tahun ada 9 juta penderita TBC baru dengan kematian 3 juta orang. 95% penderita TBC berada di negara berkembang dan beban terbesar terutama adalah di Asia Tenggara. Di negara-negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan (Depkes, 2000).
Indonesia merupakan negara terpadat nomor 4 di dunia dengan jumlah penduduk 210 juta pada tahun 2004, penyakit TBC menduduki tempat ke 3 terbesar didunia setelah China dan India. Dari hasil survey kesehatan rumah tangga , penyakit TBC merupakan penyebab kematian nomor tiga terbesar setelah penyakit Kardiovasculer dan penyakit saluran pernapasan atas (ISPA) pada semua golongan umur dan penyebab penyakit nomor satu pada kelompok penyakit infeksi.(Depkes 2004)
WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap tahun terjadi 583.000 kasus untuk semua jenis TBC dan 282.000 kasus baru dengan BTA (+). Prevalensi kasus TBCC-Paru BTA (+) diperkirakan 715.000 dengan kematian sekitar 140.000 atau secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita TBC-Paru baru dengan BTA (+) dan menyerang sebagian besar usia produktif, kelompok ekonomi lemah dan berpendidikan rendah (Depkes 2000).
Dalam upaya penanggulangan TBC di Indonesia telah ditetapkan tujuan program pemberantasan yang meliputi tujuan jangka panjang yaitu menurunkan angka kesakitan, kematian dan penularan TBC dengan cara memutuskan rantai penularan sehingga penyakit TBC tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, dan tujuan jangka pendek yaitu menyembuhkan minimal 85% penderita baru BTA (+) yang ditemukan, tercapinya cakupan penemuan penderita secara bertahap sampai dengan tahun 2007, 70% mencegah timbulnya resistensi obat TBC di masyarakat (Depkes, 1999).
Sejak tahun 1995 pemerintah telah berusaha melakukan pemberantasan penyakit tuberkulosis dengan melaksanakan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO. Dengan strategi DOTS diharapkan dapat memberikan angka penemuan dan kesembuhan yang tinggi untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat penyakit tuberkulosis.
Strategi DOTS terdiri dari :
a) Komitmen politisi dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
b) Diagnosa TBC paru dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis terhadap semua tersangka TBC diunit pelayanan kesehatan.
c) Pengobatan jangka pendek dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan pengawasan langsung oleh PMO (Pengawas Makan Obat).
d) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita.
e) Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program.
Dengan strategi DOTS program sudah masuk keseluruh Puskesmas di Indonesia, namun Rumah Sakit, Poliklinik dan praktek dokter masih sangat sedikit menerapkan program DOTS ini. Dari hasil evaluasi diseluruh Indonesia menunjukkan bahwa dengan strategi DOTS angka kesembuhan (Cure rate) telah mencapai 87% dari target nasional 85%, namun cakupan penemuan (Case detection rate) baru mencapai 10% dari target nasional 70% yang seharusnya dicapai untuk mendapatkan dampak s (Info Gerdunas, 2001).
Adapun program pemberantasan TBC paru berbasis masyarakat (community based TBC control program) telah meningkatkan jumlah penderita yang ditemukan dan diperiksa dan juga mendekatkan pelayanan pengobatan kepada penderita yang ditemukan tetapi kenaikannya sangat sedikit dan sangat kurang dari target yang diharapkan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Runggu tahun 2003 di Kota Samarinda didapatkan bahwa pendidikan, kontak serumah, lama kontak, kepadatan penghuni dan ventilasi rumah merupakan faktor risiko terhadap kejadian TBC paru dengan nilai OR > 1. Kontak serumah dan lama kontak merupakan faktor risiko tertinggi terhadap kejadian TBC paru. Faktor risiko pendidikan, pekerjaan, kepadatan penghuni dan ventilasi rumah tidak ada pengaruh terhadap kejadian TBC paru.
Di Kabupaten dengan penduduk 65.452 orang tahun 2007 dengan strategi DOTS perkirakan 531 suspek dan BTA (+) 33 kasus,(0,05%) dari 38 penderita yang diobati 38 sembuh. Tahun 2008 dari jumlah penduduk 66.282 orang perkiraan suspek 796 dan terdapat kasus TBC paru BTA (+) 78 kasus, (0,11%) dari 78 penderita yang diobati 39 orang sembuh. Sedangkan pada Tahun 2009 dengan jumlah penduduk 68.874 orang dan dari perkiraan suspek 977 ditemukan kasus TBC paru BTA (+) 111 kasus (0,16%) dari 94 penderita yang diobati tidak ada yang sembuh.
Di wilayah Puskesmas dengan jumlah penduduk 13.166 tahun 2007 dengan perkiraan suspek 113 di temukan kasus TBC paru BTA(+) 11 kasus, (0,08%) dari 9 penderita yang diobati 9 orang sembuh, Tahun 2008 jumlah penduduk 13.521, orang perkiraan suspek 78 terdapat TBC paru BTA (+) 11 kasus, (0,08%) dari 11 penderita yang diobati 5 orang yang sembuh, Tahun 2009 jumlah penduduk 13.830 orang, dengan perkiraan suspek 272 terdapat kasus TBC Paru BTA (+) 22 kasus, (0,15%) dari 22 penderita yang diobati tidak ada yang sembuh, dan pada tahun dari januari hingga maret dengan perkiraan suspek 67 terdapat kasus TBC Paru BTA (+) 5 kasus, (0,4%) 5 penderita sementara dalam masa pengobatan dari 13.861 jumlah penduduk, sehingga jika di rata-rata 5 kasus dalam tiap trimester maka akan akan terdapat 20 kasus dalam 1 tahun (Register Puskesmas ,.
Berdasarkan data tersebut, mendorong peneliti untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TBC paru di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun .

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TBC paru, maka perumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah faktor kontak serumah berhubungan dengan kejadian TBC Paru di Wilayah kerja Puskesmas Kabupaten ?
2. Apakah faktor lama kontak berhubungan dengan kejadian TBC Paru di Wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun ?
3. Apakah faktor kepadatan penghuni rumah berhubungan dengan kejadian TBC Paru di Wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian TBC paru di Wilayah Puskesmas Kabupaten tahun .
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan faktor kontak serumah dengan kejadian TBC paru di Wilayah Puskesmas Kabupaten tahun .
2. Untuk mengetahui hubungan faktor lama kontak dengan kejadian TBC paru di Wilayah Puskesmas Kabupaten tahun .
3. Untuk mengetahui hubungan faktor kepadatan penghuni rumah dengan kejadian TBC paru di Wilayah Puskesmas Kabupaten tahun .

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian sebagai sumbangan ilmiah dan bahan bacaan bagi masyarakat dan peneliti selanjutnya.
2. Manfaat Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pengambil keputusan untuk perbaikan program pemberantasan dan penanggulangan TBC paru.
3. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini sebagai informasi bagi instansi terkait khususnya di dan Indonesia pada umumnya.


Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.240

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Preeklampsia Pada Ibu Hamil

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pelayanan obstetri, selain Angka Kematian Maternal (AKM) terdapat Angka Kematian Perinatal (AKP) yang dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan pelayanan. Keberhasilan menurunkan Angka Kematian Maternal (AKM) di negara-negara maju saat ini menganggap Angka Kematian Perinatal (AKP) merupakan parameter yang lebih baik dan lebih peka untuk menilai kualitas pelayanan kebidanan. Hal ini mengingat kesehatan dan keselamatan janin dalam rahim sangat tergantung pada keadaan serta kesempurnaan bekerjanya sistem dalam tubuh ibu, yang mempunyai fungsi untuk menumbuhkan hasil konsepsi dari mudigah menjadi janin cukup bulan. Salah satu penyebab kematian perinatal adalah preeklampsia (Sudhaberata, 2001).
Penyakit hipertensi pada kehamilan berperan besar dalam morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal. Hipertensi diperkirakan menjadi komplikasi sekitar 7% sampai 10% seluruh kehamilan. Seluruh ibu yang mengalami hipertensi selama masa hamil, setengah sampai dua pertiganya didiagnosa mengalami preeklampsia (Bobak, 2004).
Preeklampsia merupakan penyakit dengan tanda-tanda hipertensi dan edema serta protein urine yang timbul karena kehamilan yang umumnya terjadi setelah usia 20 minggu atau lebih awal yang hampir selalu terjadi pada primigravida dimana rahim untuk pertama kalinya menerima hasil pembuahan yang dapat menimbulkan reaksi terhadap kehamilan. Seorang wanita yang menderita preeklampsia ringan lebih besar peluang untuk menderita preeklampsi yang berat pada kehamilan berikutnya yang dapat menyebabkan tingginya morbilitas dan mortalitas terhadap ibu dan janinnya. (Muchtar Rustam, 1998)
Kematian ibu memang menjadi perhatian dunia internasional. Organisasi kesehatan dunia WHO memperkirakan di seluruh dunia lebih dari 585.000 ibu meninggal tiap tahun saat hamil atau bersalin, artinya setiap menit ada satu perempuan yang meninggal. Menurut Sudhaberata (2001) melaporkan angka kejadian preeklampsia di dunia sebesar 0-13 persen, di Singapura 0,13-6,6 persen. Preeklampsia merupakan salah satu penyebab angka kesakitan dan kematian ibu dan janin yang cukup tinggi di Indonesia.
Berdasarkan Laporan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 angka kematian ibu sebesar 307 kematian per 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2003). Insiden preeklampsia di Indonesia diperkirakan 3,4 persen – 8,5 persen, di RSU Hasan Sadikin Bandung sebesar 6,4 persen, RSU Palembang sebesar 5,1 persen, dan di RSU Dr. Sarjito Yogyakarta sebesar 3,63 persen (Suroso, 2003). Angka kejadian preeklampsia di RSU Tarakan sebesar 3,26 persen (Sudhaberata, 2001), di RSUD Dr. Pirngadi Medan sebesar 4,65 persen (Simanjuntak, 1999), RSUP Karyadi sebesar 2,85 persen (Wibisono, 1997) dan RS pendidikan di Makasar sebesar 2,61 persen (Rambulangi, 2003). Di RS Sanglah Denpasar sebesar 1,21% (Armanza, 2005).
Di Indonesia menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2009 angka kematian ibu (AKI) masih cukup tinggi yaitu 390 per 100.000 kelahiran. Penyebab kematian ibu terbesar 58,1% karena perdarahan dan eklamsi kedua sebab itu sebenarnya dapat dicegah dengan pemeriksaan kehamilan yang memadai.
Penyebab preeklampsia belum diketahui sampai sekarang secara pasti, bukan hanya satu faktor melainkan beberapa faktor dan besarnya kemungkinan preeklampsia akan menimbulkan komplikasi yang dapat berakhir dengan kematian. Akan tetapi untuk mendeteksi preeklampsia sedini mungkin dengan melalui antenatal secara teratur mulai trimester I sampai dengan trimester III dalam upaya mencegah preeklampsia menjadi lebih berat. (Manuaba. 2008)
Salah satu upaya untuk menurunkan Angka Kematian Perinatal (AKP) akibat preeklampsia adalah dengan menurunkan angka kejadian preeklampsia. Angka kejadian dapat diturunkan melalui upaya pencegahan, pengamatan dini, dan terapi. Upaya pencegahan kematian perinatal dapat diturunkan bila dapat diidentifikasi faktor-faktor yang mempunyai nilai prediksi. Saat ini beberapa faktor resiko telah berhasil diidentifikasi, sehingga diharapkan dapat mencegah timbulnya preeklampsia. Menurut Duckitt dan Harrington (2005) faktor resiko preeklampsia meliputi pekerjaan, pemeriksaan antenatal,pengetahuan, dan riwayat hipertensi.
Menurut data yang didapatkan dari Rekam medik Rumah Sakit Umum Palopo dari periode Januari sampai Juli berkisar 43 ibu hamil yang mengalami preeklampsia ringan. Hal ini membuktikan bahwa tingginya kejadian preeklampsia merupakan masalah yang memerlukan penanganan untuk menjadi prioritas utama di Rumah Sakit Umum Palopo.
Berdasarkan data yang ditemukan bahwa kejadian preeklampsia masih tinggi maka penulis termotivasi untuk membahas lebih lanjut melalui Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Preeklampsia Pada Ibu Hamil Di Rumah Sakit Umum Palopo Tahun ”

B. Rumusan Masalah
Sebagaimana telah dinyatakan dalam latar belakang bahwa penderita preeklampsia dalam kehamilan merupakan masalah yang cukup serius karena dapat mengancam kematian pada ibu melahirkan maupun fetus.Penyebab preeklampsia belum diketahui sampai sekarang secara pasti, bukan hanya satu faktor melainkan beberapa faktor dan besarnya kemungkinan preeklampsia akan menimbulkan komplikasi yang dapat berakhir dengan kematian. Akan tetapi untuk mendeteksi preeklampsia sedini mungkin dengan melalui antenatal secara teratur mulai trimester I sampai dengan trimester III dalam upaya mencegah preeklampsia menjadi lebih berat. Oleh karena itu lewat penelitian ini, peneliti ingin mengetahui :
“Seberapa besar karakteristik ibu hamil (Pemeriksaan Antenatal, Pekerjaan, Pengetahuan, dan Riwayat Hipertensi) sebagai faktor yang menyebabkan preeklampsia di Rumah Sakit Umum Palopo Tahun ”?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Agar diidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil di Rumah Sakit Umum Palopo Tahun .
2. Tujuan Khusus
a. Identifikasi hubungan pekerjaan dengan kejadian preeklampsia
b. Identifikasi hubungan pemeriksaan antenatal dengan kejadian preeklampsia
c. Identifikasi hubungan pengetahuan dengan kejadian preeklampsia
d. Identifikasi hubungan riwayat hipertensi dengan kejadian preeklampsia

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Bagi petugas kesehatan khususnya bidan agar lebih waspada dalam memberikan pelayanan antenatal terhadap ibu hamil yang mempunyai faktor resiko menjadi preeklampsia.
2. Manfaat Teoritis
Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dimasa mendatang bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan memberikan salah satu bahan acuan bagi peneliti-peneliti lain yang meneliti mengenai penyebab terjadinya preeklampsia terhadap ibu hamil.
3. Manfaat Institusi
Bagi institusi kesehatan penyandang dana dalam hal ini “Akademi Kebidanan Kamanre Kota Palopo” adalah dapat dijadikan sebagai pengembangan penelitian yang berkaitan dengan ilmu kebidanan untuk meningkatkan nilai akreditasi bagi pendidikan. Juga untuk disampaikan pada mahasiswa kebidanan tentang karakteristik dari ibu hamil sebagai faktor yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia.
4. Manfaat Penulis
Sebagai salah satu persyaratan dalam penyelesaian pelajaran mata kuliah Metodelogi Penelitian pendidikan Diploma III Kebidanan Kamanre Palopo. Serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam proses penelitian tentang penyebab terjadinya preeklampsia terhadap ibu hamil.


Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.239

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI